- Back to Home »
- Keutamaan Bersiwak
Posted by : Tyo19
Jumat, 18 Maret 2011
Banyak hal yang semestinya perlu kita teladani dari perilaku Rasul, namun luput dari perhatian. Salah satunya adalah bersiwak. Sayangnya, kebiasaan rasul ini boleh dikatakan hampir langka kita jumpai dalam praktek kehidupan muslim sehari-hari di Indonesia. Mendengar istilahnya saja, masih banyak orang yang bertanya-tanya apalagi mempraktekannya.
Pada era serba modern ini jarang kita temukan orang yang telaten dan melestarikan tradisi bersiwak. Etah malu atau takut dianggap tidak mengikuti trend masyarakat, yang menjadi penyebabnya. Kebanyakan orang lebih bangga pada inovasi-inovasi jaman sekarang hingga sunnah rasul terlupakan secara perlahan. Orang tidak sadar bahwa di balik perbuatan yang dicontohkan rasul tersimpan banyak manfaat dan hikmah. Orang lebih akrab dengan sikat gigi ketimbang bersiwak?
Apa itu siwak? Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon. Persyaratan dahan atau akar pohon yang bisa digunakan untuk bersiwak adalah lembut, batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gigi dan email gigi, bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak, serat tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak hingga bisa mengotori mulut.
Dalam catatan sejarah, bersiwak termasuk kebiasaan yang paling disenangi Rasulullah saw. Bersiwak merupakan pekerjaan ringan tapi memiliki banyak kegunaan, baik itu bersifat duniawi berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, maupun bersifat ukhrawi, yaitu ittiba (mengikuti sunnah Nabi saw) dan mendapatkan keridhaan Rasulullah: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhaan bagi Rabb” (HR. Ahmad).
Umumnya, kebiasaan bersiwak dilakukan menjelang shalat. Karena shalat merupakan bentuk realisasi penghambaan seorang manusia kepada Allah swt. (taqarrub ila Allah). Adalah suatu keniscayaan jika menampakkan mulianya ibadah dalam keadaan yang suci bersih. Padahal sejatinya, perintah bersiwak tidak hanya ketika akan shalat saja, tapi juga dalam berbagai keadaan, misalnya: tatkala masuk rumah, bangun malam dan sebagainya. Rasulullah tidak mengkhususkan pada saat-saat tertentu. Untuk itu, boleh dilakukan setiap waktu, sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika menggunakan sikat gigi dan pasta gigi? Sebagaimana ulama berpendapat, penggunaan sikat gigi bukan termasuk sunnah nabi, karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Tapi banyak ulama menilai, jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak, maka boleh menggunakan sikat gigi biasa karena illah (Sebab) disyariatkan siwak adalah untuk membersihkan gigi.
Adapun bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon, menurut Ibnu ‘Abidin as-Soronji, lebih baik dan lebih mengikuti sunnah nabi karena lebih praktis, yakni bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Tapi banyak kalangan bersilang pendapat tentang keutamaan memegang siwak dengan tangan kiri.
Sebagian berpendapat, yang lebih utama adalah tangan kanan. Argumentasinya, bersiwak merupakan sunnah nabi, sedang sunnah adalah ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah tidak layak dilaksanakan dengan tangan kiri. Pendapat lain, seperti Ibnu Taimiyah, menggangap yang lebih utama adalah dengan tangan kiri. Bila dikiaskan bersiwak termasuk membersihkan kotoran seperti beristinja. Sebagian lagi dari golongan Madzhab Maliki menyebut jika niatnya untuk membersihkan kotoran, maka lebih diutamakan menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya untuk melaksanakan sunnah, maka lebih baik menggunakan tangan kanan. Bersiwak ketika akan shalat, misalnya.
Lalu bagaimana hukumnya bersiwak ketika berpuasa? Mengenai soal ini terjadi khilafiyah di antara para ulama. Makruh, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, seseorang yang berpuasa bersiwak sejak masuk waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari. Menurut kelompok ini, bau mulut dianalogikan dengan darahnya para syuhada yang tidak boleh dihilangkan hingga mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka dan tanpa dimandikan. Berbeda dengan Syafi’i dan Hanbali, mazhab Maliki dan Hanafi menilai tidak makruh. Artinya, orang boleh bersiwak kapan saja tanpa ada ikatan waktu.
Namun analogi bau mulut orang yang berpuasa dengan darah para syuhada adalah lemah. Sebagian kalangan menentangnya, ‘Illat tidak dimandikannya para syuhada adalah pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan luka-luka dengan warna merah, tapi mengeluarkan bau misik. Hal ini berbeda dengan puasa. Tidak ada dalil yang menunjukkan orang yang berpuasa akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengeluarkan bau mulut yang tidak dibersihkan dengan bau yang harum.
Begitu pula dengan bau mulut yang bisa muncul pada waktu sore hari, tidaklah mutlak. Bukankah terkadang bau itu bisa muncul kapan saja, karena sebab adanya bau ini adalah lambung yang kosong. Jika seseorang sahur terlalu cepat, maka lambungnya akan kosong pada waktu pagi, sehingga di pagi hari mulutnya sudah bau. Oleh karena nya, ‘illat dari larangan bersiwak adalah bau mulut, maka kapan saja mulut itu bau maka tidak boleh bersiwak baik siang hari maupun pagi hari.
Terlepas adanya kontroversi keutamaan bersiwak dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri, serta boleh tidaknya bersiwak pada siang hari tatkala puasa, yang jelas bersiwak merupakan bagian dari perilaku rasul yang patut dicontoh. Mengingat betapa banyak manfaat yang bisa diraih, maka Rasulullah sangat menganjurkan agar umatnya melakukan hal serupa sebagaimana yang dia lakukan. Seperti termaktub dalam sabdanya: “kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap akan wudhlu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sumber : www.khazanahislam.co.cc
Pada era serba modern ini jarang kita temukan orang yang telaten dan melestarikan tradisi bersiwak. Etah malu atau takut dianggap tidak mengikuti trend masyarakat, yang menjadi penyebabnya. Kebanyakan orang lebih bangga pada inovasi-inovasi jaman sekarang hingga sunnah rasul terlupakan secara perlahan. Orang tidak sadar bahwa di balik perbuatan yang dicontohkan rasul tersimpan banyak manfaat dan hikmah. Orang lebih akrab dengan sikat gigi ketimbang bersiwak?
Apa itu siwak? Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon. Persyaratan dahan atau akar pohon yang bisa digunakan untuk bersiwak adalah lembut, batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gigi dan email gigi, bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak, serat tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak hingga bisa mengotori mulut.
Dalam catatan sejarah, bersiwak termasuk kebiasaan yang paling disenangi Rasulullah saw. Bersiwak merupakan pekerjaan ringan tapi memiliki banyak kegunaan, baik itu bersifat duniawi berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, maupun bersifat ukhrawi, yaitu ittiba (mengikuti sunnah Nabi saw) dan mendapatkan keridhaan Rasulullah: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhaan bagi Rabb” (HR. Ahmad).
Umumnya, kebiasaan bersiwak dilakukan menjelang shalat. Karena shalat merupakan bentuk realisasi penghambaan seorang manusia kepada Allah swt. (taqarrub ila Allah). Adalah suatu keniscayaan jika menampakkan mulianya ibadah dalam keadaan yang suci bersih. Padahal sejatinya, perintah bersiwak tidak hanya ketika akan shalat saja, tapi juga dalam berbagai keadaan, misalnya: tatkala masuk rumah, bangun malam dan sebagainya. Rasulullah tidak mengkhususkan pada saat-saat tertentu. Untuk itu, boleh dilakukan setiap waktu, sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika menggunakan sikat gigi dan pasta gigi? Sebagaimana ulama berpendapat, penggunaan sikat gigi bukan termasuk sunnah nabi, karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Tapi banyak ulama menilai, jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak, maka boleh menggunakan sikat gigi biasa karena illah (Sebab) disyariatkan siwak adalah untuk membersihkan gigi.
Adapun bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon, menurut Ibnu ‘Abidin as-Soronji, lebih baik dan lebih mengikuti sunnah nabi karena lebih praktis, yakni bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Tapi banyak kalangan bersilang pendapat tentang keutamaan memegang siwak dengan tangan kiri.
Sebagian berpendapat, yang lebih utama adalah tangan kanan. Argumentasinya, bersiwak merupakan sunnah nabi, sedang sunnah adalah ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada Allah tidak layak dilaksanakan dengan tangan kiri. Pendapat lain, seperti Ibnu Taimiyah, menggangap yang lebih utama adalah dengan tangan kiri. Bila dikiaskan bersiwak termasuk membersihkan kotoran seperti beristinja. Sebagian lagi dari golongan Madzhab Maliki menyebut jika niatnya untuk membersihkan kotoran, maka lebih diutamakan menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya untuk melaksanakan sunnah, maka lebih baik menggunakan tangan kanan. Bersiwak ketika akan shalat, misalnya.
Lalu bagaimana hukumnya bersiwak ketika berpuasa? Mengenai soal ini terjadi khilafiyah di antara para ulama. Makruh, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, seseorang yang berpuasa bersiwak sejak masuk waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari. Menurut kelompok ini, bau mulut dianalogikan dengan darahnya para syuhada yang tidak boleh dihilangkan hingga mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka dan tanpa dimandikan. Berbeda dengan Syafi’i dan Hanbali, mazhab Maliki dan Hanafi menilai tidak makruh. Artinya, orang boleh bersiwak kapan saja tanpa ada ikatan waktu.
Namun analogi bau mulut orang yang berpuasa dengan darah para syuhada adalah lemah. Sebagian kalangan menentangnya, ‘Illat tidak dimandikannya para syuhada adalah pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan luka-luka dengan warna merah, tapi mengeluarkan bau misik. Hal ini berbeda dengan puasa. Tidak ada dalil yang menunjukkan orang yang berpuasa akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengeluarkan bau mulut yang tidak dibersihkan dengan bau yang harum.
Begitu pula dengan bau mulut yang bisa muncul pada waktu sore hari, tidaklah mutlak. Bukankah terkadang bau itu bisa muncul kapan saja, karena sebab adanya bau ini adalah lambung yang kosong. Jika seseorang sahur terlalu cepat, maka lambungnya akan kosong pada waktu pagi, sehingga di pagi hari mulutnya sudah bau. Oleh karena nya, ‘illat dari larangan bersiwak adalah bau mulut, maka kapan saja mulut itu bau maka tidak boleh bersiwak baik siang hari maupun pagi hari.
Terlepas adanya kontroversi keutamaan bersiwak dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri, serta boleh tidaknya bersiwak pada siang hari tatkala puasa, yang jelas bersiwak merupakan bagian dari perilaku rasul yang patut dicontoh. Mengingat betapa banyak manfaat yang bisa diraih, maka Rasulullah sangat menganjurkan agar umatnya melakukan hal serupa sebagaimana yang dia lakukan. Seperti termaktub dalam sabdanya: “kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap akan wudhlu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sumber : www.khazanahislam.co.cc
Posting Komentar